AINA QALBYNA BLOG
Allah memberikan kehidupan kepada kita sebagai makhluq sempurna,punya akal....dan kehidupan yang indah
....jalani dengan ikhlas dan siap menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT....amin
Perjalanan panjang hidup seorang anak manusia sulit untuk di tebak oleh yang namanya manusia itu sendiri,
umur,rezeki,pertemuan,juga maut.
Semua ada yang mengatur,tiap sedetik desah nafas yang kita hirup ada yang mengatur yaitu Allah SWT.
------------------------------
IslamDotNet | Links | Teman-teman | Siapakah aku?

Saturday, October 14, 2006

Bismillahirahman nirahim
IDUL FITRI ANTARA IBADAH DAN TRADISI

SEBULAN lamanya umat Islam melaksanakan puasa, suatu ibadah yang
mempunyai nilai kekhususan di hadapan Allah jika dibandingkan dengan
bentuk-bentuk ibadah lain (hadist Qudsi). Puasa ini selain disebut
sebagai ibadah syakhsiyyah (pribadional) yang lebih menitikberatkan
pada hubungan vertikal, antara Allah dengan hamba-Nya yang beriman,
derajat pahalanya juga tidak pernah ditampakkan baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Allah hanya memberikan sinyal ketakwaan
saja bagi mereka (mukmin) yang melaksanakannya dengan baik.


Dari intisari pemahaman surat Al-Baqarah ayat 183, yang dijadikan
landasan hukum kewajiban puasa Ramadhan, Allah tidak menunjukkan
secara langsung berapa dan apa imbalan (pahala) bagi mukmin yang telah
sukses melaksanakan puasa. Yang Allah tampilkan adalah pernyataan
la'allakum tattaqun (mudah-mudahan kamu sekalian termasuk orang-orang
yang bertakwa). Dari ungkapan ayat tersebut, terkandung nilai
motivatif bagi umat Islam untuk berlomba mencari kebaikan maksimal di
hadapan Allah. Ibarat seorang pekerja yang tidak pernah diberi tahu
kepastian upahnya oleh sang majikan, pasti mereka akan berlomba
berbuat yang terbaik demi prestasi dan tingginya upah.

Predikat takwa hanya akan diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang
beriman karena kesempurnaannya di dalam menjalankan puasa. Itulah yang
membuat umat Islam semakin terangsang untuk berlomba beribadah pada
bulan Ramadhan, apalagi rangsangan itu bukan sekadar berpusara pada
keutamaan ibadah puasa saja, tapi lebih jauh dari itu adalah kebesaran
bulan Ramadhan yang disebut sebagai sayyid al-Syuhur atau tuannya
bulan dari segala bulan.

Ramadhan disebut sebagai tuannya bulan atau bulan yang mulia, karena
pada bulan itu Allah telah membuka bursa pahala dan menutup pintu
dosa. Pada bulan Ramadhan juga telah terjadi minimal lima keistimewaan
yang monumental, antara lain: (1) puasa wajib sebulan penuh, sedangkan
pada bulan-bulan di luar Ramadhan tidak ada puasa wajib kecuali puasa
nadzar, puasa kifarat sumpah, dan puasa kifarat bersenggama pada siang
Ramadhan, (2) Shalat Tarawih, (3) Lailatul Qadar, lebih dikenal
sebagai malam turunnya Al-Quran yang nilai keutamaannya lebih agung
dari ibadah 1.000 bulan, (4) Zakat Fitrah, sebagai penghantar pahala
puasa ke haribaan Allah, dan (5) semua kitab suci dari Allah turun
pada bulan Ramadhan.

Maka, sangatlah beruntung bagi mereka yang mampu melaksanakan ibadah
pada bulan suci secara maksimal tanpa sedikit pun cacat.

Tradisi awal

Adalah merupakan suatu keberuntungan yang patut dirayakan oleh umat
Islam, jika sebulan lamanya mampu mengukir prestasi ibadah dengan
gemilang. Kegemilangan itu akan lebih menjurus pada citra fitri, jika
umat Islam yang beriman secara ikhlas mengeluarkan zakat fitrah
sebagai unsur kelengkapan ibadah puasa yang dilaksanakan
selambat-lambatnya sebelum berangkat menunaikan shalat 'Id pada
tanggal 1 Syawal.

Tradisi penyambutan hari raya 1 Syawal, yang dianggap sebagai hari
kemenangan bagi umat Islam, sebenarnya telah dimulai sejak zaman Arab
purba. Orang Arab purba merayakan pesta pada setiap tanggal 1 Syawal
dengan aneka ragam permainan. Tradisi itu menurut Imam Thabari
berlangsung terus sampai hijrah Nabi ke Madinah.

Menurut penuturan hadist Shahih Bukhari, bahwa pada suatu hari raya,
Rasulullah SAW dan istri beliau, Aisyah ra., menyaksikan tari-tarian
perang, ketangkasan panah-memanah dan menunggang kuda di halaman
mesjid yang dilakukan oleh serombongan Arab Sudan yang lebih terkenal
dengan Bani Arfidah. Dan Rasulullah tidak berkomentar apa-apa mengenai
pertunjukan yang sudah menjadi kebiasaan mereka bila menyambut hari
raya.

Pada hari raya yang lain, menurut hadist Shahih Bukhari, di rumah
Rasulullah terdengar dua orang wanita menyanyi. Abu Bakar melarangnya
dengan mengatakan "Seruling setan di sisi Nabi", akan tetapi
Rasulullah membiarkannya, mengingat waktu itu adalah hari raya.

Namun dalam kesempatan yang lain, di mana pada waktu Rasulullah
berkunjung ke Madinah, beliau menjumpai ahli Madinah yang telah
mempunyai kebiasaan dua hari untuk bermain-main. Seketika itu pula
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk
kamu dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari raya Idul
Fitri dan Idul Adha". Dari cuplikan hadist yang diriwayatkan Al-Nasa'i
dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih itu, telah tergambar dengan jelas
adanya upaya untuk membedakan cara dan sikap mereka menghadapi hari
raya. Maka Rasulullah menganjurkan kepada umat Islam Madinah supaya
hari itu diisi dengan memperbanyak dzikir, menegakkan (melaksanakan)
shalat 'Id dan memperbanyak amal baik lainnya.

Ada dua sikap yang merupakan paradigma pemikiran Rasulullah yang
terkesan kontradiktif, yakni sikap Rasulullah yang kooperatif
(membiarkan) terhadap tradisi Arab pada umumnya di saat merayakan 1
Syawal (Idul Fitri), dan mengritik kebiasaan orang-orang Madinah
dengan memberikan solusi alternatif yang lebih positif dan bernuansa
ibadah.

Hakikat Idul Fitri

Ibadah puasa selama satu bulan sesungguhnya merupakan suatu training
(latihan) yang tinggi bagi mental dan fisik manusia. Ia juga merupakan
gelanggang perjuangan yang maha hebat untuk mengatasi dan
mengendalikan hawa nafsu yang menjadi sumber kebinasaan manusia. Dan
yang utama, puasa merupakan batu ujian ketaatan manusia kepada
Tuhannya. Karena itulah puasa membuat suatu kristalisasi di antara
mereka yang mengaku dirinya muslim dan beriman. Kristalisasi antara
yang asli dan imitasi.

Oleh sebab itu, Tuhan menciptakan hari raya 'Idul Fitri yang jatuh
pada tanggal 1 Syawal sebagai hari pesta pora kemenangan dan saat
syukuran yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah melakukan
puasa dengan penuh kesempurnaan. Hari di mana manusia kembali kepada
fitrah asalnya yang tidak punya dosa dan noda, bak seorang orok yang
baru lahir dari kandungan ibunya. Lahir dengan wajah dan mental baru,
menjadi manusia yang berwatak dengan jiwa tauhid yang tinggi. Itulah
makna kalimat: Hari Raya Fitrah, min al-'Aidin wa al-Faidzin.

Paradigma pemikiran Rasulullah SAW tersebut di atas yang terkesan
kontradiktif, justru merupakan sikap bijak yang diterapkannya di saat
menghadapi dua bentuk masyarakat yang kualitas keimanannya tidak sama.
Terhadap orang Arab yang kualitas keimanannya masih relatif rendah
(mua'allaf) Rasulullah bersikap pasif, agar tidak terjadi gejolak pada
mental mereka secara drastis. Namun, terhadap orang Madinah yang lebih
kuat imannya, Rasulullah secara tegas menegurnya.

Dari sikap Rasulullah SAW tersebut dapat dianalisis, bahwa pada hari
raya Idul Fitri (1 Syawal) itu hendaklah seluruh potensi umat Islam
dikerahkan untuk menyambut hari kebahagiaan itu dengan segala
kekhidmatan. Ia harus disambut bukan dengan cara membakar petasan,
bersukaria di tempat-tempat pesta maupun pesiar, makan yang
berlebihan, dan berlomba dalam hal kemewahan duniawi yang lebih
terkesan konsumtif dan pleonastis (mubadzir) itu, tetapi ia harus
disambut dengan mengagungkan asma Tuhan, mengumandangkan takbir,
melaksanakan shalat 'Id yang khusyuk dan dengan khutbah yang menyeru
manusia bertakwa, beramal membantu kaum melarat, utamanya dengan
membayar zakat fitrah. Untuk lebih menyempurnakan suasana penyambutan
hari raya (1 Syawal), maka sebelum datang menghadiri shalat 'Id, kita
dianjurkan (sunnah) mandi dahulu, memakai pakaian yang baik lagi
bersih dan memakai wewangian.

Untuk lebih menciptakan suasana ukhuwah, maka ada beberapa bentuk
tradisi khazanah Indonesia yang bermuatan ibadah yang masih perlu
dipertahankan, seperti: tradisi ziarah ke makam guna mendoakan leluhur
yang telah mendahului, tradisi berkunjung dari rumah ke rumah
(silaturrahim), mengunjungi rumah fakir miskin dan yatim piatu dengan
membawa sedekah, ber-halal bihalal, dan masih banyak lagi tradisi 1
Syawal yang positif dan bernilai ibadah yang masih perlu
dipertahankan.

Halal bihalal

Di antara bentuk tradisi yang sarat akan muatan nilai ibadah adalah
halal bihalal. Di dalam al-Quran maupun al-Sunnah, kita tidak
menemukan suatu penjelasan tentang arti halal bihalal. Istilah
tersebut memang khas Indonesia, bahkan boleh jadi pengertiannya akan
kabur di kalangan non-Indonesia, walaupun yang bersangkutan paham
ajaran agama dan bahasa Arab.

Secara definitif, istilah halal bihalal dapat memberikan tiga arti
yang berbeda. Dari segi hukum, maka kata halal adalah lawan kata
haram. Halal yang dipertentangkan dengan kata haram, apabila diucapkan
dalam konteks halal bihalal, akan memberikan kesan bahwa dengan cara
tersebut mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa.

Dari segi linguistik, kata halal terambil dari akar kata halla atau
halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai dengan
rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain: menyelesaikan
problem atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang
membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Dengan demikian,
makna halal bihalal dalam tinjauan ini seakan-akan kita menginginkan
adanya sesuatu yang mengubah hubungan kita dari yang tadinya keruh
menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dan dari yang terikat
menjadi terlepas atau bebas, walaupun kesemua yang disebut di atas
belum tentu haram.

Arti yang ketiga adalah dari tinjauan Qurani serta kesan-kesan
penggunaan kata halal dalam Al-Quran. Dari segi ini, dapat disimpulkan
bahwa halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi
menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Quran menuntut agar setiap
aktivitas yang dilakukan oleh setiap muslim harus merupakan sesuatu
yang baik lagi menyenangkan.

Dari beberapa pengertian di atas, maka halal bihalal (silaturrahim)
menuntut upaya maaf-memaafkan. Kata maaf, yang berasal dari Al-Qur'an
al-'afwu, berarti "menghapus" karena yang memaafkan menghapus
bekas-bekas luka di hatinya. Artinya, bukanlah memaafkan namanya
manakala masih tersisa bekas luka itu di hatinya, bila masih ada
dendam yang membara.

Itu sebabnya - berdasarkan teks-teks keagamaan -, para pakar hukum
menuntut dari seseorang yang memohon maaf dari orang lain agar
terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak
melakukannya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang
pernah diambilnya, baik berupa materi maupun immateri.

Secara praktis, hal itu memang akan sulit dilakukan oleh seseorang
yang telah berbuat kesalahan. Artinya, manakala seseorang yang berbuat
kesalahan itu telah menyampaikan kata maaf, mungkin bukannya maaf yang
diterima, namun justru kemarahan dan putus hubungan. Dalam hal ini
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita sebuah doa: "Ya Allah
sesungguhnya aku memiliki dosa pada-Mu dan dosa yang kulakukan pada
mahluk-Mu. Aku bermohon ya Allah agar Engkau mengampuni dosa yang
kulakukan pada-Mu serta mengambil alih dan menanggung dosa yang
kulakukan pada mahluk-Mu".

Sebenarnya, di dalam Al-Quran terdapat peringkat yang lebih tinggi
dari al-'afwu, yakni al-safhu. Kata ini pada mulanya berarti
kelapangan dari sesuatu. Darinya dibentuk kata safhat yang berarti
lembaran atau halaman, serta musafahat yang berarti berjabat tangan.
Ini berarti, seseorang yang melakukan al-safhu, dituntut untuk
"melapangkan dadanya" sehingga mampu menanggung segala ketersinggungan
serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.

Menurut Al-Raghib Al-Asfahany - seorang pakar bahasa Arab dan Al-Quran
-, bahwa al-safhu yang diilustrasikan dengan berjabat tangan itu
"lebih tinggi nilainya" dari pada memaafkan. Agaknya benar juga
pandangannya itu. Bukankah masih mungkin ada satu-dua titik yang sulit
bersih pada lembaran yang salah walaupun kesalahannya telah dihapus?
Atau, bukankah lembaran yang telah ternodai walaupun telah bersih
kembali tidak dapat sama dengan lembaran baru?

Karenanya, di hari Idul Fitri ini bukalah lembaran baru dan tutup
lembaran lama. Wujudkan sikap ihsan, karena yang demikianlah yang
paling disukai oleh Allah. Demikianlah, Selamat Hari Raya Idul Fitri "

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

ketika bayi lahir, hakikat2 dan kesiapan-kesiapan asalnya sebagaimana ada dalam ilmu-Nya yang azali hadir dalam alam lahir. Mata melihat keberadaan bayi itu. Tetapi sesungguhnya ada yang ada dalam bayi itulah yang ada. Jika mereka yang berpuasa mencapai pengetahuan ini, maka sesungguhnya ia menyadari bahwa yang ada hanyalah Wujud Mutlak. Mereka inilah yang memperoleh kemenangan saat idul fitri.

27/10/06 16:59  

Post a Comment

<< Home


Supported by : cenary.com